Sunday, September 8, 2013
KISAH BAMBU & TUANNYA
Sekali peristiwa di sebuah kerajaan ada sebuah taman yang indah. Di sanalah pada saat hari sejuk, Tuan taman sering berjalan-jalan. Dari semua penghuni taman itu, yang paling indah dan paling dicintai adalah pohon bambu yang elok dan megah. Tahun demi tahun, Si Bambu bertumbuh dengan semakin indah dan elok. Disadarinya betapa Tuannya cinta dan suka padanya dengan penuh perhatian, namun demikian ia rendah hati dan, dalam segalanya, lemah lembut. Kerapkali, bila Angin datang bermain-main di taman itu, Bambu rupanya menyendengkan martabatnya. Ia seakan-akan menari dan bergoyang-goyang dengan riang, menjulang dan melompat dan melengkung dalam kegembiraan yang lepas bebas. Kiranya dialah yang memimpin tarian agung di taman, yang begitu menyenangkan hati Tuannya.
Pada suatu hari, Tuan itu sendiri mendekat dan melihat pada Bambunya dengan sorotan mata yang memancarkan harapan bercampur ingin tahu. Dan Bambu sendiri, tergerak oleh nyala cintanya yang berkobar, menundukkan kepalanya yang agung sampai ke tanah, sambil bersalaman penuh sukacita. Kata sang Tuan, “Hai Bambu, aku ingin mempergunakanmu.” Bambu melambungkan kepalanya ke langit dan dengan sangat gembira ia pun berkata, “Saya siap Tuan, pergunakanlah aku sebagaimana Tuan kehendaki.” Kata Tuannya dengan nada suara yang berat, “Bambu, kiranya menjadi kewajibanku untuk mengambil dan menebangmu.” Rasa ngeri membuat Bambu menggentar, “Mau...nebang..saya, Tuan? Bukankah saya yang telah Tuan jadikan yang paling indah di seluruh taman? Menebang saya, ah jangan. Kumohon jangan tebang saya Tuan.” Berkatalah sang Tuan, “Bambuku tercinta, jika saya tidak menebangmu, saya tidak dapat mempergunakanmu.”
Taman pun menjadi hening. Angin menahan napas. Si Bambu menundukkan kepalanya yang megah dan mulia sambil berkata, “Tuan, jikalau Tuan tidak dapat menggunakan saya kecuali hanya dengan menebangku, jadilah kehendakmu. Silahkan tebang!”
“Bambuku tercinta, bukan hanya menebang, tetapi saya juga akan memotong daun-daun dan ranting-cabangmu.”
“Tuan, Tuan, sayangilah saya. Tebanglah saya dan taruhlah keindahanku dalam debu tanah, tetapi mengapa Tuan mau mengambil juga daun dan cabangku?”
“Bambu, kalau saya tidak memotongmu sampai habis, saya tidak dapat mempergunakanmu.” Sambil menggigil dalam penantian yang ngeri, Si Bambu berbisik dengan pelan, “Ya Tuan, potonglah diriku sampai habis.”
“Bambuku tercinta, bukan hanya memotongmu, tetapi juga memecah-belah dan mengeluarkan hatimu, sebab kalau saya tidak berbuat demikian, saya tidak dapat menggunakanmu.”
“Tuan, kalau memang demikian Tuan kehendaki, silahkan potong dan pecahkan diriku.”
Lalu, Tuan taman itu mengambil Bambu, menebangnya, memotong ranting-cabangnya, menanggalkan daun-daunnya, memecahkannya dan mengeluarkan hatinya, lalu mengangkatnya dengan lembut dan membawanya ke tempat di mana terdapat sumber air sejuk yang memancar di tengah sawah yang kering, kepunyaan Sang Tuan. Kemudian sambil memasukkan ujung yang satu dari Bambu yang telah dipecah itu ke dalam mata air, dan ujung yang lain ke dalam saluran air di sawahnya, Sang Tuan meletakkan dengan lembut Bambunya yang tercinta.
Mata air menyanyikan selamat datang. Air yang jernih dan memancar itu dengan riang turun berlari melalui saluran yang dibuat dari badan Bambu yang telah dipotong dan dipecahkan itu masuk ke dalam sawah yang menanti. Padi ditanamkan dan hari demi hari berlalu akar-akarnya bertumbuh. Kini saat panen pun tiba. Si Bambu yang dahulu begitu mulia dalam keindahannya yang menjulang, sekarang pada hari panen ini malah lebih mulia lagi dalam keterpecahan dan kerendahannya. Sebab dalam keindahan dan kemegahannya dahulu, ia merupakan hidup yang berlimpah. Tetapi dalam keterpecahan dan kerendahannya sekarang, ia menjadi saluran hidup berlimpah kepada dunia Tuannya. (Kisah ini disarikan dari Nico Syukur Dister, Rehab Rumah Tuhan, Kanisius: Yogyakarta, 2000, hal. 169-171)
Pesan: Hidup kita akan semakin berguna untuk orang lain kalau kita mau/ Siap untuk diurapi / diubah seperti pada kisah Bambu diatas.... Apakah anda Siap ???
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment